11/21/2008

Pidana Kehutanan Adelin Lis


Oleh: Zenwen

Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung yang diketuai Ketua MA Bagir Manan telah menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan denda 1 milyar rupiah berikut kewajiban-kewajiban lainnya kepada Adelin Lis. Demikian hasil rapat permusyawaratan majelis hakim yang digelar pada Kamis, 31 Juli 2008.

Putusan ini adalah kabar gembira bagi para aktivis anti ilegal logging dan gerakan anti korupsi di Indonesia. Putusan ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang telah menjatuhkan putusan bebas kepada Adelin Lis.

Namun dibalik berita gembira ini tak bisa dipungkiri bahwa sekaligus dua putusan yang berbeda ini telah mempertegas kontroversi dalam penanganan kasus-kasus ilegal logging di Indonesia. Secara langsung bagi Departemen Kehutanan putusan terakhir ini menjadi tamparan yang agak menyakitkan karena sebelumnya secara resmi Departemen Kehutanan juga telah menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Adelin Lis bersama perusahaan HPHnya bukanlah tergolong tindak pidana kehutanan tetapi merupakan kesalahan administrasi.

Sementara dalam putusan kasasi MA menyatakan bahwa terdakwa Adelin Lis terbukti melakukan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama dan berlanjut.

Kumulasi Pertanggungjawaban Kehutanan

Dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum terlihat bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama. Untuk tindak pidana kehutanan pasal yang didakwakan adalah Pasal 50 ayat (2) jo pasal 78 ayat (1) dan ayat (14) UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal 50 ayat (2) menegaskan setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Penjelasan ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang meyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.

Tetapi pasal ini memang tidak menyebutkan perbuatan yang bagaimana yang dapat didakwa dengan pasal ini. Apakah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan izin yang diberikan tetapi kemudian dia menyebabkan kerusakan hutan dapat dikenakan pasal ini? Sebagai contoh penebangan dalam kawasan di luar RKT atau praktek penebangan kayu yang tidak menerapkan sistem silvikultur atau sistem tebang pilih apakah dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat didakwa dengan pasal ini.

Sejatinya berbagai ketentuan yang harus dilaksanakan oleh pemegang izin baik sebelum maupun sesudah memperoleh izin bertujuan agar praktek-praktek pengusahaan hutan tidak menyebabkan kerusakan hutan. Apabila berbagai ketentuan seperti penerapan sistem tebang pilih tidak dilakukan maka akan dikuatirkan akan menyebabkan kerusakan hutan.

Pasal 50 ayat (2) adalah untuk mengantisipasi dan memberikan kabar pertakut kepada pemegang izin untuk menerapkan praktek-praktek lestari dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar praktek pengusahaan hutan yang dilakukan tidak menyebabkan kerusakan hutan. Maka sekalipun tidak ditegaskan perbuatan apa yang dimaksudkan akan tetapi apabila secara nyata telah terjadi kerusakan hutan akibat praktek-praktek pengusahaan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka penanggungjawab pengusahaan hutan bersangkutan dapat didakwa dengan pasal ini.

Selain itu perbuatan-perbuatan pemegang izin seperti melakukan penebangan secara serampangan sekalipun dilakukan di dalam areal hutan yang diizinkan juga adalah sebuah pelanggaran administratif. Sehingga paling tidak atas praktek penebangan hutan yang serampangan tersebut selain dapat dikenakan sanksi administratif, si pemegang izin juga dapat dijatuhi hukuman pidana apabila terbukti bahwa kesalahan administratif tersebut menyebabkan kerusakan hutan.

Apabila secara materil telah dapat dibuktikan bahwa telah terjadi kerusakan hutan akibat praktek pengusahaan hutan tinggal dilihat siapa-siapa saja yang harus bertanggungjawab atas kerusakan hutan tersebut. Dalam konteks kasus Adelin Lis misalnya apabila memang sudah terbukti adanya kerusakan hutan apalagi terbukti dilakukan pelanggaran administratif berupa tidak digunakannya sistem silvikultur dan adanya praktek penebangan di luar areal Rencana Kerja Tahunan (RKT) pertanyaannya kemudian apakah memang menjadi tanggungjawab Adelin Lis atas terjadinya perbuatan tersebut?

Dalam dakwaan, Adelin Lis disebutkan sebagai Direktur Keuangan/Umum PT. Keang Nam Development Indonesia (KNDI). Pertanyaan lanjutannya kemudian adalah apakah peran dan tanggungjawab Adelin Lis atas terjadinya kerusakan hutan dalam areal konsesinya? Bila kita cermati posisi Adelin Lin termasuk dalam jajaran direksi yaitu sebagai Direktur Keuangan/Umum. Secara jelas juga dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah menguraikan bahwa akibat tidak direalisasikan anggaran yang telah ditetapkan guna melaksanakan sistem silvikultur tebang pilih tanam indonesia (silvikultur) oleh terdakwa mengakibatkan dibuatnya laporan fiktif hasil cruising.

Dengan demikian jelas kalau memang telah ada kerusakan hutan yang diakibatkan operasional pemegang izin maka dapat disimpulkan telah terjadi tindak pidana kehutanan. Dan dalam konteks kasus Adelin Lis sejak awal di pengadilan tingkat pertama (PN Medan) mestinya sudah dapat dipastikan bahwa Adelin Lis telah melakukan tindak pidana kehutanan. Tapi, nampaknya hal-hal inilah yang tidak dipertimbangkan majelis hakim PN Medan sehingga lahirlah putusan bebas terhadap Adelin Lis. Tetapi syukulah putusan tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Tinggal sekarang kita tunggu kerja keras Kejaksaan untuk segera mengeksekusi terpidana.

http://zpador.wordpress.com/

Tidak ada komentar: